Ahli Menduga Omicron Sudah Masuk Indonesia, Ini Penjelasannya | Tarakan TV
Keterangan Gambar : Ilustrasi varian Omicron membawa banyak mutasi virus corona. Studi baru, peneliti ungkap varian virus Omicron membawa mutasi dari gen virus flu biasa.
JAKARTA - Varian Omicron B.1.1.529 yang pertama kali dilaporkan di
Afrika Selatan kini telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, varian Omicron saat ini telah terdeteksi di
38 negara, termasuk di negara tetangga, yakni Singapura dan Malaysia. Melihat
kondisi tersebut, muncul kecurigaan bahwa varian Omicron saat ini sudah
menyebar ke Indonesia. Namun demikian, pemerintah dalam hal ini Kementerian
Kesehatan belum mengonfirmasi temuan satu pun kasus infeksi virus corona varian
Omicron. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, Sabtu (4/12/2021). "Ya
(belum ada kasus infeksi Omicron terdeteksi di Indonesia)," kata Nadia,
dikutip dari Kompas.com, Senin (7/12/2021) Diduga sudah
masuk Indonesia Namun demikian, ahli patologi klinis Universitas Sebelas Maret
(UNS) Surakarta Tonang Dwi Ardyanto menduga bahwa varian Omicron sudah masuk
Indonesia.
"Pendapat saya:
sudah. Penyebaran sudah sedemikian luas di banyak negara sejak dari laporan
awalnya. Laporan awal itu pun sebenarnya kasusnya sudah terjadi setidaknya 2
pekan sebelumnya," kata Tonang kepada Kompas.com, Selasa (7/12/2021).
Seperti diketahui, varian Omicron atau B.1.1.529 pertama kali dilaporkan
ke WHO dari Afrika Selatan pada 24 November 2021.
Sementara, kasus infeksi
B.1.1.529 pertama yang terkonfirmasi diketahui berasal dari spesimen yang
dikumpulkan pada 9 November 2021. Baca juga: Upaya Pencegahan Covid-19 Varian
Omicron, Apa Saja? Alasan Omicron sudah masuk Indonesia Menurut Tonang, ada
beberapa alasan yang membuatnya menduga varian Omicron sudah masuk Indonesia.
Pertama, sebagian besar kasus karena Omicron tanpa atau hanya gejala ringan,
seperti juga laporan dari Afrika Selatan dan beberapa negara lain yang sudah
melaporkan kasusnya.
Kedua, jumlah tes PCR Indonesia yang masih di
bawah ambang, meskipun rata-rata tes dilaporkan antara 180-200 ribu per hari.
"Tapi yang banyak itu tes antigen, sekarang PCR tinggal sekitar 15 persen
saja dari total tes. Rata-rata sekitar 30 ribu/hari," kata Tonang.
"Padahal minimal 39
ribu/hari. Itu minimal. Itu juga dengan syarat merata. Sayangnya, 40-50 persen
dari jumlah PCR itu di Jakarta saja. Sisanya dibagi 33 provinsi lainnya,"
ujar dia. Tonang mengatakan, tes antigen memang masih bisa mendeteksi Omicron,
karena targetnya protein N, bukan protein S. "Tapi tes antigen itu baru
positif bila viral load tinggi. Kalau sudah menurun, PCR yang tepat untuk
mendeteksinya," kata Tonang.
Dia menjelaskan, walaupun
antibodi sedang atau sudah mulai menurun, tapi yang pernah terinfeksi atau
tervaksinasi itu masih memiliki sel memori. Sehingga, ketika terjadi infeksi
ulang, maka viral load (jumlah virus yang berhasil menginfeksi) cenderung
rendah dan masa bertahannya di dalam saluran nafas jauh lebih singkat. "Maka
mudah terjadi terinfeksi tapi "tidak terdeteksi" pada tes
antigen," jelas dia.
Penjelasan soal sekuensing Mengenai sequencing
atau sekuensing untuk mendeteksi varian Omicron, Tonang memberikan penjelasan.
Dia mengatakan, sekuensing hanya dilakukan, bila ada indikasi awal. Indikasi
pertama adalah jika ditemukan kasus infeksi dengan ct value sangat rendah, yang
berarti viral load tinggi.
"Pertama bila
didapatkan kasus dengan ct value rendah sekali yang berarti viral load tinggi.
Padahal terdeteksinya kasus perlu PCR dan bila terpaksa dengan tes antigen
lebih dulu," kata Tonang. Indikasi kedua, yakni jika terjadi S gene target
failure (SGTF) pada tes deteksi Covid-19 yang memiliiki target gen S.
"Artinya, PCR mendeteksi 2 target gen lain,
tapi target S nya justru negatif. Bila ketemu demikian, curiga kuat bahwa
virusnya mengalami mutasi. Tidak pasti varian apa, tapi Omicron salah satu
kemungkinannya," jelas Tonang.
Tonang mengatakan, saat
ini lebih dari 85 persen kit PCR di Indonesia tidak menggunakan gen S sebagai
target, mengingat memang rentan bermutasi. Menurut Tonang, yang rata-rata
ditargetkan adalah gen N, E, RdRp, Orf1b dan Helicase. "Jadi dengan
menarget selain S, maka justru kita tetap bisa mendeteksi adanya virus
SARS-CoV- 2. Hanya kita tidak tahu apakah itu masih seperti virus awal, atau
sudah varian, serta varian mana. Itu yang tidak diketahui kalau tidak dilakukan
sekuensing," jelas dia. Ia mengatakan, tes PCR yang ada saat ini tetap
bisa mendeteksi infeksi virus corona yang disebabkan oleh varian Omicron.
"Tetap terdeteksi, tidak lolos, hanya tidak bisa membedakan apakah itu Omicron
atau varian lainnya," kata Tonang.
"Kita tetap harus mempersiapkan diri untuk
kemungkinan terburuk. Kalaupun benar Omicron sudah ada di Indonesia, atau
ternyata belum ada, tetap saja jawabannya satu: harus dicegah
penyebarannya," kata Tonang. Menurut Tonang, kewaspadaan mesti terus
dijaga walaupun sebagian besar kasus Omicron menimbulkan gejala ringan, bahkan
sampai saat ini belum ada laporan kematian. "Walau tentu harus menunggu
dulu setidaknya 1-2 minggu ke depan untuk memastikan," imbuhnya. Tonang
mengatakan, Indonesia harus belajar dari penyebaran varian Delta di Inggris
Raya dan Singapura, yang memiliki proporsi kematian rendah meski kasusnya
tinggi. "Tapi risiko jumlah kematian akan membesar bila jumlah kasusnya
melonjak tinggi, melampaui kemampuan sistem pelayanan kesehatan, seperti terjadi
di bulan Juli kemarin. Maka kita tetap harus cegah, jangan sampai penyebarannya
tidak terkendali," ungkap Tonang.
(Sumber: Kompas)
Kirim Komentar