16 Jan 2025
Nasional

Ahli Menduga Omicron Sudah Masuk Indonesia, Ini Penjelasannya | Tarakan TV

Ahli Menduga Omicron Sudah Masuk Indonesia, Ini Penjelasannya | Tarakan TV

Keterangan Gambar : Ilustrasi varian Omicron membawa banyak mutasi virus corona. Studi baru, peneliti ungkap varian virus Omicron membawa mutasi dari gen virus flu biasa.

JAKARTA - Varian Omicron B.1.1.529 yang pertama kali dilaporkan di Afrika Selatan kini telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, varian Omicron saat ini telah terdeteksi di 38 negara, termasuk di negara tetangga, yakni Singapura dan Malaysia. Melihat kondisi tersebut, muncul kecurigaan bahwa varian Omicron saat ini sudah menyebar ke Indonesia. Namun demikian, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan belum mengonfirmasi temuan satu pun kasus infeksi virus corona varian Omicron. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, Sabtu (4/12/2021). "Ya (belum ada kasus infeksi Omicron terdeteksi di Indonesia)," kata Nadia, dikutip dari Kompas.com, Senin (7/12/2021)  Diduga sudah masuk Indonesia Namun demikian, ahli patologi klinis Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Tonang Dwi Ardyanto menduga bahwa varian Omicron sudah masuk Indonesia.

"Pendapat saya: sudah. Penyebaran sudah sedemikian luas di banyak negara sejak dari laporan awalnya. Laporan awal itu pun sebenarnya kasusnya sudah terjadi setidaknya 2 pekan sebelumnya," kata Tonang kepada Kompas.com, Selasa (7/12/2021). Seperti diketahui, varian Omicron atau B.1.1.529 pertama kali dilaporkan ke WHO dari Afrika Selatan pada 24 November 2021.

Sementara, kasus infeksi B.1.1.529 pertama yang terkonfirmasi diketahui berasal dari spesimen yang dikumpulkan pada 9 November 2021. Baca juga: Upaya Pencegahan Covid-19 Varian Omicron, Apa Saja? Alasan Omicron sudah masuk Indonesia Menurut Tonang, ada beberapa alasan yang membuatnya menduga varian Omicron sudah masuk Indonesia. Pertama, sebagian besar kasus karena Omicron tanpa atau hanya gejala ringan, seperti juga laporan dari Afrika Selatan dan beberapa negara lain yang sudah melaporkan kasusnya.

Kedua, jumlah tes PCR Indonesia yang masih di bawah ambang, meskipun rata-rata tes dilaporkan antara 180-200 ribu per hari. "Tapi yang banyak itu tes antigen, sekarang PCR tinggal sekitar 15 persen saja dari total tes. Rata-rata sekitar 30 ribu/hari," kata Tonang.

"Padahal minimal 39 ribu/hari. Itu minimal. Itu juga dengan syarat merata. Sayangnya, 40-50 persen dari jumlah PCR itu di Jakarta saja. Sisanya dibagi 33 provinsi lainnya," ujar dia. Tonang mengatakan, tes antigen memang masih bisa mendeteksi Omicron, karena targetnya protein N, bukan protein S. "Tapi tes antigen itu baru positif bila viral load tinggi. Kalau sudah menurun, PCR yang tepat untuk mendeteksinya," kata Tonang.

Dia menjelaskan, walaupun antibodi sedang atau sudah mulai menurun, tapi yang pernah terinfeksi atau tervaksinasi itu masih memiliki sel memori. Sehingga, ketika terjadi infeksi ulang, maka viral load (jumlah virus yang berhasil menginfeksi) cenderung rendah dan masa bertahannya di dalam saluran nafas jauh lebih singkat. "Maka mudah terjadi terinfeksi tapi "tidak terdeteksi" pada tes antigen," jelas dia.

Penjelasan soal sekuensing Mengenai sequencing atau sekuensing untuk mendeteksi varian Omicron, Tonang memberikan penjelasan. Dia mengatakan, sekuensing hanya dilakukan, bila ada indikasi awal. Indikasi pertama adalah jika ditemukan kasus infeksi dengan ct value sangat rendah, yang berarti viral load tinggi.

"Pertama bila didapatkan kasus dengan ct value rendah sekali yang berarti viral load tinggi. Padahal terdeteksinya kasus perlu PCR dan bila terpaksa dengan tes antigen lebih dulu," kata Tonang. Indikasi kedua, yakni jika terjadi S gene target failure (SGTF) pada tes deteksi Covid-19 yang memiliiki target gen S.

"Artinya, PCR mendeteksi 2 target gen lain, tapi target S nya justru negatif. Bila ketemu demikian, curiga kuat bahwa virusnya mengalami mutasi. Tidak pasti varian apa, tapi Omicron salah satu kemungkinannya," jelas Tonang.

Tonang mengatakan, saat ini lebih dari 85 persen kit PCR di Indonesia tidak menggunakan gen S sebagai target, mengingat memang rentan bermutasi. Menurut Tonang, yang rata-rata ditargetkan adalah gen N, E, RdRp, Orf1b dan Helicase.  "Jadi dengan menarget selain S, maka justru kita tetap bisa mendeteksi adanya virus SARS-CoV- 2. Hanya kita tidak tahu apakah itu masih seperti virus awal, atau sudah varian, serta varian mana. Itu yang tidak diketahui kalau tidak dilakukan sekuensing," jelas dia. Ia mengatakan, tes PCR yang ada saat ini tetap bisa mendeteksi infeksi virus corona yang disebabkan oleh varian Omicron. "Tetap terdeteksi, tidak lolos, hanya tidak bisa membedakan apakah itu Omicron atau varian lainnya," kata Tonang.


"Kita tetap harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Kalaupun benar Omicron sudah ada di Indonesia, atau ternyata belum ada, tetap saja jawabannya satu: harus dicegah penyebarannya," kata Tonang. Menurut Tonang, kewaspadaan mesti terus dijaga walaupun sebagian besar kasus Omicron menimbulkan gejala ringan, bahkan sampai saat ini belum ada laporan kematian. "Walau tentu harus menunggu dulu setidaknya 1-2 minggu ke depan untuk memastikan," imbuhnya. Tonang mengatakan, Indonesia harus belajar dari penyebaran varian Delta di Inggris Raya dan Singapura, yang memiliki proporsi kematian rendah meski kasusnya tinggi. "Tapi risiko jumlah kematian akan membesar bila jumlah kasusnya melonjak tinggi, melampaui kemampuan sistem pelayanan kesehatan, seperti terjadi di bulan Juli kemarin. Maka kita tetap harus cegah, jangan sampai penyebarannya tidak terkendali," ungkap Tonang.


(Sumber: Kompas)




Kirim Komentar